makalah negara hukum yang dapat dikatakan demokratis? why?
MAKALAH
“ NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS”
Di susun oleh
:
NAMA :
ROSUL PADRI
NIM : 50 2014 431
MATA KULIAH : KAPSEL
HTN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke
hadirat Tuhan YME bahwa penyusunan makalah yang berjudul Negara Hukum yang demokratis dapat
kami selesaikan dengan baik. Adapun penyelesaian makalah berdasarkan tugas mata
kuliah kapsel HTN yang
di bimbing oleh bapak atau ibu selaku dosen mata kuliah tersebut. Kami
mengucapkan terimakasih atas peran dan kerja keras tim penyusun dalam
penyelesaian ini. Tak lupa kami mengharapkan masukan yang berupa kritik atau
saran. Semoga makalah ini bermanfaat.
Palembang, Desember 2017
Rosul Padri
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG MASALAH……………………………. 1
1.2
PERUMUSAN
MASALAH……………………………………. 2
1.3
TUJUAN
PENULISAN………………………………………… 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Negara Hukum……………………………………… 3
2.2 Ciri-ciri
Negara Hukum………………………………………….4
2.3
Prinsip-Prinsip Negara Hukum………………………………….6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………..16
3.2 Saran………………………………………………………………16
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………..v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.4 LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu prinsip dasar yang
mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum
(Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa
sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang
sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Prinsip-prinsip negara hukum
senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di
era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya
memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan
ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk
dalam menilai kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan
kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat
kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Dengan terlibatnya masyarakat dalam
penentuan kebijakan publik merupakan pencerminan suatu negara merupakan negara
yang menganut hukum dan demokrasi yang berjalan seiring dan saling melengkapi.
Negara sebagai organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin
dicapai tidak akan mengkesempingkan perananan masyarakat dalam merumuskan dan
mengimplementasikan tujuan bersama tersebut.
Negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah negara
yang mampu memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum,
pemerataan pendidikan dan perbaikan ekonomi. Dari empat sokongan itu,
keseimbangan antara kebebasan dan penegakan hukum akan memperkuat dua pilar
berikutnya. Diperlukan upaya meningkatkan peran dan kualitas demokrasi dari
tingkat prosedural ke level substansial.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang
tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimanakah hubungan
antara negara hukum dan demokrasi.
1.5 PERUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian negara hukum ?
2. Bagaimana
hubungan antara negara hukum dan demokrasi ?
3. Bagaimana
ciri-ciri negara hukum ?
4. Apa
prinsip-prinsip negara hukum ?
1.6 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah KAPSEL
HTN dan ingin lebih mengetahui dan mengkaji
tentang hukum
dan demokrasi serta untuk mengetahui hubungan negara
hukum yang demokratis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Pengertian Negara Hukum
Di zaman modern, konsep Negara Hukum
di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius
Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:
- Perlindungan hak asasi manusia.
- Pembagian kekuasaan.
- Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
- Peradilan tata usaha Negara.
Secara sederhana yang dimaksud
negara hukum adalah negara yang penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya
didasarkan atas hukum. Di dalamnya negara dan lembaga-lembaga lain dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum. (Mustafa Kamal Pasha,2003).
Negara berdasar atas hukum
menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada
istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan tiga
dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karenanya negar
dalam melaksakan hukum harus memperhatikan tiga hal tersebut. Dengan demikian
hukum tidak hanya sekedar formalitas atau prosedur belaka darikekuasaan.
Apabila negara berdasarkan hukum maka pemerintahan negara itu harus berdasar
atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan. Konstitusi negara merupakan sarana pemersatu bangsa. Hubungan
antar warga negara dengan negara, hubungan anatar lembaga negar dan kinerja
masing-masing elemen kekuasaan berada pada satu sistem aturan yang disepakati
dan dijunjung tinggi.
2.2 Ciri-ciri Negara Hukum
Friedrich Julius Stahl dari kalangan
ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai
berikut.
- Hak asasi manusia
- Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
- Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
- Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli
hukum Anglo Saxon memberikan ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut.
- Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
- Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
- Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.
Di samping perumusan ciri-ciri
negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat mengenai ciri-ciri
negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Montesquieu, negara yang
paling baik ialah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara
terkandung tiga inti pokok, yaitu
- Perlindungan HAM
- Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, dan
- Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Mustafa Kamal Pasha (2003)
menyatakan adanya tiga ciri-ciri khas negara hukum, yaitu
- Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
- Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak.
- Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama,
SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
- Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
- Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus
berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga
oleh pemerintah atau aparaturnya.
- Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul
terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan
perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain
tidak berada dalam satu tangan.
2.4 Prinsip-Prinsip Negara Hukum
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : supremasi
hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ
eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata
usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat
demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol
sosial.
1. Tujuan Negara Hukum
Seperti kita ketahui bahwa masalah
negara hukum pada hakikatnya tidak lain daripada persoalan tentang kekuasaan.
Ada dua sentra kekuasaan. Di satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang
menjadi syarat mutlak untuk dapat memerintah. Di lain pihak nampak rakyat yang
diperintah segan melepaskan segala kekuasaannya. Kita menyaksikan bahwa apabila
penguasa di suatu negara hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan
sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kebebasan rakyatnya, maka lenyaplah negara
hukum. Dengan demikian nyatalah betapa penting tujuan suatu negara dalam kaitannya
dengan persoalan kita.
Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum
ialah mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian
diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta
dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan
kepentingan golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan selalu menyebabkan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua orang
melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk
mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan
diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup
secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang
mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Menurut Montesqueu, negara yang
paling baik ialah negara hukum, sebab di dalam konstitusi di banyak negara
mempunyai tiga inti pokok yaitu:
1. Perlindungan HAM
2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu
negara
3. Membatasi kekuasaan dan wewenang
organ-organ negara.
Disamping itu salah satu tujuan
hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya kepastian hukum (rechtzeker
heid). Kepastian hukum menjadi makin dianggap penting bila dikaitkan dengan
ajaran negara berdasar atas hukum. Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu
hukum bahwa hukum tertulis dipandang lebih menjamin kepastian hukum
dibandingkan dengan hukum tidak tertulis.
Negara
Indonesia sudah menjadi
negara hukum yang
demokratis. Langkah pertama untuk
membuktikan bahwa jawaban
ini beralasan adalah
mencari kriteria tentang negara
hukum yang demokratis.
Menurut Konperensi The International Commision
of Yurist di Bangkok pada
1965,
dikemukakan syarat-syarat dasar
yang harus dipenuhi
oleh Representative
Government Under The Rule of Law (Negara hukum yang
demokratis) adalah:
1. Adanya
proteksi konstitusional.
Proteksi konstitusional adalah adanya perlindungan
dari negara kepada rakyatnya mengenai
hak-hak asasi manusia secara konstitusional. Hal ini termasuk adanya
jaminan dalam hukum, cara
memperoleh perlindungan tersebut.
2. Adanya
lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
Lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak
adalah adanya lembaga kehakiman yang mandiri, dan di dalam melaksanakan proses
peradilan tidak akan mendapatkan pengaruh dari mana pun dan tidak boleh memihak
kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa.
3. Adanya
pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan
umum yang bebas
adalah terselenggaranya pemilihan
umum dengan tanpa adanya paksaan
dan penekanan kepada rakyat yang melakukan hak pilihnya.
4. Adanya
kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Kebebasan menyatakan
pendapat adalah rakyat berhak dan memperoleh jaminan dalam
hukum untuk dapat
mengeluarkan pendapat baik
secara tertulis maupun lisan, baik sendiri maupun
bersama-sama.
5. Adanya
kebebasan berserikat dan melakukan oposisi.
Kebebasan berserikat dan melakukan oposisi adalah
adanya jaminan dalam hukum bagi
rakyat untuk mendirikan
perserikatan atau partai
politik yang didirikan tersebut, dan rakyat
mempunyai kebebasan melakukan
oposisi atau kritik
yang membangun baik melalui
wakil rakyatnya (dalam
forum lembaga perwakilan rakyat) maupun tidak, asalkan
menurut peraturan perundang-undangan.
6. Adanya
pendidikan civic.
Pendidikan civic ialah dilakukannya pendidikan kewarganegaraan kepada rakyat, sehingga rakyat
dapat mengetahui dan mengerti
hak apa saja yang dimiliki dan kewajiban apa
saja yang harus
dilakukan berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku (Toto Pandoyo, 1983: 98)
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut di atas, kami
akan mengurai satu per satu kreteria
yang dapat dipakai
sebagai alasan bahwa
hipotesa kami yaitu
secara formal Indonesia sudah menjadi
negara hukum yang demokratis, adalah benar.
Namun, secara meteriil masih
perlu didiskusikan.
Adanya perlindungan konstitusional
Kalau kita membaca UUD 1945 sebelum diamandemen pada 2000, di sana hanya
ada tujuh butir ketentuan yang mengatur tentang HAM, yaitu pasal 27 ayat (1),
Pasal 27
ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat
(1), dan pasal 34.
Pasal-pasal tersebut jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya
satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
HAM, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang
lain, sama sekali bukanlah rumusan
tentang HAM atau
human rights, melainkan
hanya ketentuan mengenai
hak warga negara atau the citizens’
rights. Jika jumlah pasal yang mengatur
tentang HAM antara sebelum
UUD 1945 diamandemen
dan sesudah UUD 1945
diamandemen tentu sangat jauh
beda jumlahnya. Hal demikian ini karena sejarahnya.
Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak
Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum
dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia’.
Penjelasan pasal tersebut
menyatakan bahwa “Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya
kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang
dari pihak ekstra yudicial, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-
undang. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang judicial
tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas
dari Hakim adalah
untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta
azas-azas yang jadi landasannya, melalui
perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga
keputusan mencerminkan perasaan
keadilan bangsa dan
rakyat Indonesia”. UU
ini merupakan pelaksanaan dari
Pasal 24 UUD
1945, dibuat pada
masa Orde Baru ,
diundangkan pada 17 Desember 1970 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan dan intervensi kekuatan
di luarnya merupakan masalah yang sangat esensial dalam penegakan hukum. Kalau
kita membaca Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun
1970, maka kita
akan percaya bahwa hakim
pasti akan menegakkan hukum dan keadilan. Namun kenyataannya, selama
Orde Baru jaminan UUD dan undang-undang atas kekuasaan kehakiman yang merdeka,
tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Dalam berbagai
perkara yang berkaitan
dengan eksistensi, kebijakan
atau kewibawaan kekuasaan, majelis hakim bukan saja dituntut bertindak hati-
hati, tetapi adakalanya wajib mengikuti kehendak yang berkuasa.
Di suatu tempat di Jawa Barat, seorang pelajar di hadapkan ke pengadilan
pidana, hanya karena ada yang mendengar pelajar tersebut sambil bermain dengan
kawan-kawannya mengomentari gubernur yang sedang berkampanye. Dalam memeriksa
perkara-perkara gugatan PDI pimpinan Megawati, pengadilan menerima pesan bahkan
arahan agar tidak memberi peluang beracara
apalagi memenangkan gugatannya.
Kekuasaan menjelma menjadi
sesuatu yang tidak pernah dapat bersalah apalagi dipersalahkan. Kelompok
“Petisi Lima Puluh” bertahun-tahun dikucilkan dan dicabut berbagai kebebasannya
(berniaga, bepergian, menghadiri
pertemuan, dan lain-lain), hanya karena
menyampaikan pendapat yang dianggap mengusik
kekuasaan yang tidak boleh disentuh
oleh perbedaan pendapat dan kritik. (Bagir Manan, 2005: 121)
Peristiwa sebagaimana dicontohkan oleh Bagir Manam tersebut, karena
sebelum amandemen UUD 1945,
secara struktural kekuasaan
kehakiman tidak dapat
lepas dari
kekuasaan lembaga eksekutif.
Dengaan adanya Departemen
Kehakiman dapat timbul
pandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya merdeka. Kiranya
tidak proposional apabila para
hakim itu dibina
oleh satu unit
organisasi yang bernaung
di bawah lembaga eksekutif seperti Departemen Kehakiman, meskipun itu
hanya menyangkut administrative dan finansial.
Paling tidak ada
kesan bahwa para
hakim itu menjadi bawahan eksekutif. Posisi hakim
terhadap eksekutif dapat dibaca dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor
14 Tahun 1970
yang menyatakan bahwa
‘Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut
pasal 10 ayat
(1) organisatoris, administrative, dan
finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen
yang bersangkutan’. Para hakim yang berada di bawah Departemen menurut undang-undang tegas hanya dalam bidang organisatoris,
administrative dan financial,
namun tetap ada
kekhawatiran akan gangguan
kebebasan hakim menjadi
alasan. Karena bagaimana
pun karier para hakim akan bergantung
juga kepada departemen. Meskipun secara formal hakim memiliki kebebasan
dalam menangani suatu perkara,
namun mungkin terjadi bahwa sebagai pegawai negeri secara psikologis hakim tidak
berani mengambil sikap
untuk membuat keputusan-keputusan yang bertentangan dengan
kebijakan pemerintah yeng
merupakan induk korpsnya. Kekhawatiran akan terhambatnya karier atau dimutasikan ke daerah-daerah yang kering dapat saja memengaruhi hakim dalam menangani suatu perkara, apalagi
jika perkara itu menyangkut kepentingan instansi pemerintah atau oknum pejabat
atau keluarganya.
Keinginan agar pembinaan badan peradilan di bawah
satu atap dengan Mahkamah Agung, sudah dimulai pada awal Orde Baru yaitu
ketika Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa
Tengah menyampaikan pendapat
agar badan-badan peradilan
baik secara organisatoris maupun
secara administrative dan financial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai
alat perlengkapan negara yang berdiri sendiri, dan sejalan dengan itu
Departemen Kehakiman tidak diperlukan lagi.
Namun, jika tugas-tugas Departemen Kehakiman selain pembinaan badan-badan peradilan masih
dipandang perlu dilakukan oleh sebuah departemen, maka departemen itu jangan
bernama Departemen Kehakiman melainkan diberi nama lain misalnya Departemen
Hukum dan Perundang-undangan atau
nama lain. Gagasan
IKAHI Jawa Tengah
ini kemudian diambil alih menjadi sikap Pengurs Puasat IKAHI melalui
putusan tanggal 16
Juni 1996 yang ketika itu mendapat dukungan dari Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun ciri negara hukum yang demokratis
ialah sebagai berikut
1.
Adanya proteksi
konstitusional.
2.
Adanya lembaga
pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3.
Adanya pemilihan umum
yang bebas.
4.
Adanya kebebasan untuk
menyatakan pendapat.
5.
Adanya kebebasan
berserikat dan melakukan oposisi.
6.
Adanya pendidikan
civic.
3.2 Saran
Sebagai Negara hukum sudah
sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan di taati agar terciptalah Negara yang
sejahtera, agar demikian masyarakat yang ada didalam dapat terlindungi hukum
dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan, sebagai Negara hukum
Indonesia adalah salah satu Negara yang menjunjung hukum agar ketentraman di
Negara Indonesia senantiasa terjaga dan terpelihara agar terciptalah
kesejahteraan dan ketentraman dalam bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Website :
http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-5/pendidikan-kewarganegaraan/konsep-negara-hukum/
http://ejournal.unisri.ac.id/index.php/Wacana/article/
Post a Comment for "makalah negara hukum yang dapat dikatakan demokratis? why?"
1. Berkomentarlah dengan tata bahasa yang baik agar orang lain tahu sebijak apa karakter anda melalui kata kata.
2. Silahkan tulis komentar anda untuk hal apapun yang masih berhubungan dengan post pada halaman ini.
3. Mohon untuk tidak menyertakan Link Aktif pada kolom komentar.
4. Mohon maaf apabila tidak sempat membalas komentar 1 per 1.
5. Komentar selalu di moderasi.
6. 1x share dari Anda sangat berarti bagi kemajuan blog ini.
7. setiap informasi yang anda berikan di komentar yang menyangkut mengenai promosi produk ataupun jasa anda tidak akan DITERBITKAN, kecuali jika sudah bekerja sama dengan saya.